C H R I ST I N E

Kamis, 16 Juni 2011

PLACES I MUST GO

J'ADORE PARIS


1. EIFFEL TOWER



2. ARC DE TRIOMPHE



3. PLACE DE LA CONCORDE



4. MUSEE DU LOUVRE



5. JARDIN DES TUILERIES

Selasa, 14 Juni 2011

Pendidikan Dan Kemiskinan

Ada sebuah teka-teki sederhana namun menarik di kemukakan antara kemiskinan dan kebodohan,mana yang menjadi sebab pertama timbulnya akibat antara keduanya ?
Bila kebodohan menjadi sebab,kita bisa katakan kemiskinanlah yang akan menjadi akiba; jika kemiskinan yang menjadi sebab,kebodohan akan menjelma sebagai akibat.
Teka-teki ini bukan tanpa nalar,dan bukan pula sebuah usaha menyederhanakan persoalan.Memang,ada benarnya premis bahwa kemiskinan tidak selamanya mengakibakan kebodohan,namun faktanya di negeri ini hal itu terjadi.
Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan atau mengalami kebodohan bahkan secara sistematis.Karena itu,menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan kebodohan,dan kebodohan jelas
identik dengan kemiskinan.

TIGA RIALITAS.

Untuk memutus rantai sebab akibat diatas,ada satu unsur kunci yaitu pendidikan.Karena pendidikan adalah sarana menghapus kebodohan sekaligus kemiskinan.Namun ironisnya,pendidikan dinegeri ini selalu terbentur oleh tiga realitas.
Pertama,Kepedulian pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis: Politik.
Bahkan,pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju kekuasaan agar bisa menarik simpati di mata rakyat.
Jika melihat negara lain,ada kecemasan yang sangat mencolok dengan kondisi sumber daya manusia ( SDM) ini.Misalnya,Amerika serikat.Menteri Perkotaan di era Bill Clinton,Henry Cisneros,pernah mengemukakan bahwa dia khawatir tentang masa depan Amerika Serikat dengan banyaknya penduduk keturunan Hispanik dan kulit hitam yang buta huruf dan tidak produktif.
Dalam dimensi lain,Marshal,seorang peneliti tenaga kerja Amerika Serikat,mengemukakan bahwa suatu bangsa tidak mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf internasional bila seperempat dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan pendidikan menengah.Kecemasan yang sederhan,namun penuh makna,karena masyarakat Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika Serikat.
Dan di negeri ini,kita bisa melihat adanya pengabaian sistematis terhadap kondisi pendidikan,bahkan ada kecenderungan untuk meng-anaktirikannya,dan harus kalah dari dimensi yang lain.
Kedua,penjajahan terselubung.
Di era globalisasi dan kapitalisme ini,ada sebuah penjajahan terselubung yang dilakukan negara-negara maju dari segi kapital dan politik yang telah mengoptasi berbagai dimensi kehidupan di negara-negara berkembang.
Umumnya,penjajahan ini tentuk tidak terlepas dari unsur ekonomi.
Dengan hutang negara yang semakin meningkat,badan atau organisasi donor pun mengintervensi secara langsung maupun tidak terhadap kebijakan ekonomi suatu bangsa.
Akibatnya,terjadilah privatisasi di segala bidang.Bahkan,pendidikan pun tidak luput dari usaha privatisasi ini.
Dari sini pendidikan semakin mahal yang tentu tidak bisa di jangkau oleh rakyat.Akhirnya,rakyat tidak bisa lagi mengenyam pendidikan tinggi dan itu berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia di negeri ini.
Jadi,tidak heran jika tenaga kerja kita banyak yang berada di sektor informal akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah,dan ini salah satunya karena biaya pendidikan yang memang mahal.
Apa lagi ditengah iklim investasi global yang menuntut pemerintah memberikan kerangka hukum yang bisa melindungi pemodal dan juga buruh murah.
Buruh murah ini merupakan hasil dari adanya privatisasi ( otonomi kampus ),yang membuat pendidikan tidak lagi bisa dijangkau rakyat.Akhirnya,terbentuklah link up sistem pendidikan,dimana pendidikan hanya mampu menyediakan tenaga kuli dengan kemampuan minim.
Realitas ketiga adalah kondisi masyarakat sendiri yang memang tidak bisa mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang ada.Tentu hal ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi sehingga harapan rakyat akan kehidupannya menjadi rendah.
Bisa dikatakan,telah terjadi deprivasi relatif ( istilah Karl Marx yg di populerkan Ted R.Gurr ) dalam diri masyarakat.
Hal ini akan berdampak pada kekurangannya respek terhadap dunia pendidikan,karena mereka lebih mementingkan urusan perut daripada sekolah.
Akibatnya,kebodohan akan menghantui,dan kemiskinan pun akan mengiringi.Jadi,kemiskinan menjadi sebuah reproduksi sosial,diman dari kemiskinan akan melahirkan generasi yang tidak terdidik akibat kurangnya pendidikan,sehingga kemudian menjadi bodoh dan kemiskinan pun kembali menjerat.(*)

http://winardi-andalas-putro.blogspot.com/2009/03/pendidikan-dan-kemiskinan.html

Dampak Kemiskinan terhadap Pendidikan

BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.

SEHARUSNYA negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.

NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.

Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.

Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.

Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara �negara yang lain.
PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.

Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.

MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.

Untuk mengatasi semua itu:

pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.

Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.

Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi.

Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.

http://www.infodiknas.com/dampak-kemiskinan-terhadap-pendidikan

Membangun Pendidikan, Mengatasi Kemiskinan

Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, setiap bangsa yang ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas utama.
Kisah Jepang, ketika luluh lantak akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima adalah contoh nyatanya. Ketika itu, Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak berselang beberapa waktu setelah itu, Jepang bangkit dan kini telah berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.
Bagaimana dengan Indonesia? Hampir tak ada yang membantah bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat sekarang ini belumlah terlalu bagus, alias jeblok. Bahkan, kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat menyebut kualitas pendidikan kita anjlok, rendah dan memprihatinkan. Keberadaan atau posisi kita jauh di bawah negara-negara lain. Hal itu terlihat dari angka Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional, yang menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia sangatlah rendah.
Kemudian, pada saat yang sama tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis. Sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita semua paham bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98).
Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Banyak pihak terkejut dengan pernyataan ini. Tak dapat kita bayangkan, sesuai data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Suatu jumlah yang amat fantastis. Hampir separoh penduduk Indonesia. Hal ini tak pernah kita duga sebelumnya.
Dalam ukuran yang lebih mikro lagi, jumlah ketidaklulusan siswa SLTP dan SMU tahun 2006 ini, tergolong tinggi. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya nol persen. Suatu realita yang sangat memalukan. Padahal, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tidak terbilang tinggi.
Persoalannya, bagaimanakah masa depan bangsa ini? Atau bagaimana kualitas SDM kita? Harus diakui bahwa persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikan sendiri masih dipengaruhi oleh banyak hal dan sangat kompleks. Misalnya, bagaimana kualitas dan penyebaran guru, ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pendidikan, dan lain-lain. Hal ini sering kita sebut dengan istilah faktor utama.
Salah satu hal yang menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut di atas, adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah misalnya mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Pembangunan pendidikan adalah modal utama dalam membangun suatu bangsa. Sebab, pendidikan terkait dengan kualitas SDM. Maka, jika bangsa ini ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan adalah syarat mutlak yang harus dilakukan. (*)



Sinar Indonesia Baru, Nov 08, 2006
Suka
Be the first to like this post.
20 Tanggapan ke “Membangun Pendidikan, Mengatasi Kemiskinan”
Pengumpan untuk Entri ini Alamat Jejakbalik

1.
1 yahya nur ifriza Desember 18, 2006 pukul 1:44 pm

saya setuju dangan anda karena rakyat sangat membutuhkan pendidikan tapi kebanyakan mereka tidak sadar akan kekurangan mereka.
Balas
2.
2 agni Desember 23, 2006 pukul 3:22 pm

bagaimana mengatasi kemiskinan di indonesia
Balas
3.
3 nur Desember 26, 2006 pukul 9:18 am

saya sangat sependapat dengan anda.pendidikan dalam hal ini, menurut saya masih sangat global bagaimana dengan peran pendidikan nonformal sendiri dalam mengatasi kemiskinan?
Balas
4.
4 naya Desember 26, 2006 pukul 2:03 pm

buat yahya nur ifriza, klo menurut sy, bukan rakyat yang seharusnya dipertanyakan tapi pemerintahnya. Okeyyyaaa?
Balas
5.
5 ical Januari 3, 2007 pukul 2:19 am

saya sepakat ….

nggak ah saya bingung…

tapi nggak tahu ah….tapi ngomong2 saya cukup berpendidikan lho….

mungkin sistemnya tapi mungkin juga subsistemnya, atau mungkin juga yang ngebangun sistemnya yang salah….dan yang yang paling bisa dilihat sekarang ya yang menjalankan dan menjalani sistem tersebut…ya nggak sich…!!??? ck ck ck ck….
Balas
6.
6 rhoma Januari 4, 2007 pukul 4:11 pm

selama masih ada bakat2 pencuri atau rasa ingin menguasai hak orang alin disetiap diri orang Indonesia mak selama itu pula pendidikan akan menemui jalan buntu,karena setelah bidang politik dan ekonomi telah tidak bisa di”koripsi”-in lagi maka mumpung pendidikan menjadi hal yang dianggap penting makapendidikan akan menjadi lahan eksploitasi yang tentunya di bunkus dengan image”ingin memjukan pendidikan Indonesia,apa qta sebagai bangsa yang pernah besar tidak malu denag negara2 seperti malaysia karena beberapa dekade yang lalu qta mengiimkan tenaga pengajar kesana,ini berarti qta lebih dari mereka,sedangkan sekarang….jangan dibawah malah mereka melebihi qta,bukan bermaksud untuk merendahkan tapi seharusnya qta sebagai orang Indonesia jangan cepat merasa puas karena”life is mobile”dan harus maju ….dan terus maju…tapi sebenarnya qta ga kalah tapi cuma sedikit ketinggalan dan masih bisa dikejar koq,,,hidup indonesia
Balas
7.
7 RURI Maret 22, 2008 pukul 1:51 pm

GIMANA YA, SUPAYA INDONESIA GAK KAYA GINI TRUS? aKU MALU! AKU KAN JUGA ANAK INDONESIA, AKU JUGA PELAJAR! AKU PENGEN BUAT SESUATU YANG BERHARGA BUAT BANGSA INI KHUSUSNYA UNTUK PENDIDIKan, tapi apa? negara korup yang kaya gini gimana bisa maju kalo anak mudanya sendiri ga mau maju!
Balas
8.
8 zim April 4, 2008 pukul 10:46 pm

jangan bisanya mengkritik saja cari solusinya donk!!!
Balas
9.
9 full April 16, 2008 pukul 11:58 pm

pendidikan mahal…………
bukan sekolahnya………..(embel-embelnya ‘kan ada beasiswa’!!..bulshit!!)
tapi buku-bukunya……….
Balas
10.
10 full April 17, 2008 pukul 12:46 am

oh iya,,,
saya tau cara jitu mengatasi kemiskinan…
1. jangan jadi pemalas
pemerintah melulu yang disalahin,,tapi kitanya aja pemalas..

2. sifat yg terlalu konsumtif tuh hilangin
biar kaga gensi,,,,banyak yg ngekredit motor atau mobil,,,padahal ekonominya dia aja morat marit….pas bensin naik…ngamuk deh semuanya

3. pemerintah harus subsidi banyak buat sembako…pokonya murah deh buat sembako

4. tuh siaran2 tv kaya film,sinetron…lebih banyak ngeliatin org yg banyak duit..jd deh kemiskinan d indonesia kaga keliatan

5. banyak org yang terobsesi jd artis
ya iyalah,,gaji artis aja disebutin d infotainment…maksudnya sih biar terbuka,,,tp membawa pengaruh buruk juga..
karena terlalu berobsesi jd artis,,,pendidikan kacau deh…

6. jangan bilang,,,’ya itu tergantung orangnya masing2′ tp faktor lingkungan jg berpengaruh
ingat sifat setiap org tuh beda2…ada yg gampang terpengaruh ada yg nggak

7. subsidi kertas….biar buku2 pada murah

8. pelajaran d skul,,,lebih diperhatikan…..berapa kali ya ganti kurikulum?? hehehe,,,dasar plin plan….
kenapa sekolah ga memperhatiin siswanya…
padahal kan siswa bisa milih pelajaran yang ia gemari,,,jd pelajaran lain ga usah dikuti..
indonesia pinter banget….semua pelajaran di ambil,,,hebat!!!!!!!!!…tapi tetep aja murah…hehehe
jujur aja,,kita seperti zaman penjajahan dulu,,,org yang mentok ga bisa matematika,,dipaksa terus,,,12 tahun ada melulu,,,gimana ga stress itu anak,,,
semua pelajaran tuh penting,,,tp ga bisa dipaksakan…

9. ‘semua’ orang harus jujur…bisa ga ya?…hehehe
biar ga da korupsi,kolusi dan nepotisme

10. cinta produk dalam negeri
tp jujur aja,,,emang barang luar lebih bagus….padahal org indonesia pinter2,,,apa yg salah ya?….atau kitanya aja yg kegengsian kali,,,liat barang yg bertuliskan ‘made in indonesia’ udah alergi pake,,,kebangetan ga tuh!!!

11. dukung pemerintah dalam melaksanakan programnya
toh kita juga yg milih…yg ga sesuai harapan ya jgn marah,,,berlapang dada lah,,,jg dendam,jg benci,,,tau ga pengaruhnya??
klo kita dendam atau benci…nanti klo tiba2 pemerintah buat kesalahan dikit aja….yg dendam dan benci semakin berkobar2 kaya api,,,seperti dikasih kesempatan buat marah…lalu bikin demo deh dimana2….
tp bukan berarti diem aja loh..
ya saya berusaha tuk ngerti….penyakit yang udah dibuat pemerintah sebelumnya berpuluh-puluh tahun…masa sih bisa disembuhkan hanya dalam waku ’5 tahun’…. kan ga adil namanya!!!,,,seharusnya bertahap..mungkin pemerintah sekarang nyembuhin dikit2…terus selanjutnya tambah dikit lagi…terus dan terus…nanti juga sembuh….
ya klo pemerintah dah kelewatan bgt,,,baru deh kita marah,,,

12. para wakil rakyat yg da d DPR jangan tersinggung ma band slank…tuh kan jd aja kebukti gara2 kasus suap kan???
hehehehe…ya slank juga sama…rakyat juga…lagian dia ngeluh secara sehat kok..pake musik,,,dijual2,,,biar semua org tahu keluhannya,,,kan jd didenger ma masyarakat luas tuh….jd kita tahu DPR tuh kaya apa,,,ya harus instropeksi dong,,,kita yg milih lebih hati2 juga…d DPR juga harus lebih instropeksi….soal nama baik mah no.2…yg penting instropeksi dulu,,lakukan dengan jujur…baru deh ngomogin nama baik,,,,sorry ya,,,ntar sy digugat lagi…hehehehe

13. klo semua org tahu ada kehidupan lain setelah hidup,,,pasti lebih hati2

14. terakhir deh,,kepanjangan ya..
bukan ngomporin biar gaji guru tinggi..tapi kayanya untuk seorang guru di indonesia,,,gajinya kecil deh…jd guru2 jg banyak yg males ngajar (tidak semuanya),,,mau ga mau,,,,alhasil anak didiknya yg kena….hehehe
bikin apa kek,,,penghargaan atau gimanalah terserah….biar guru2 di indonesia…lebih bersemangat lagi…ayo chayo!!!!..

bisa ga ya di indonesia diterapin kaya gtu?
Balas
*
11 abu abbad April 29, 2010 pukul 5:02 pm

saya setuju dengan pendapat anda brow
Balas
11.
12 HanuraGowa Mei 20, 2008 pukul 11:28 pm

Bangsa ini miskin adalah ulah birokrat dan sistem yang tidak berjalan dengan bagus, atau karakter para elit dan pihak-pihak yang terkait sangat egois dan tidak memiliki rasa kasih yang begitu berarti. mungkin kita pernah dengar kalau ada anak pejabat yang seklah diluar negeri tentunya dengan biaya yang luar biasa. hal ini berarti mereka sudah mengetahui kualitas pendidikan dalam negeri kurang bagus. sehingga kesannya, pejabat tersebut hanya menyelamatkan anak kandungnya saja. sedangkan anak-anak yang lain di negeri ini dibiarkan apa adanya. sebagaimana kita ketahui pejabat adalah public figur yang semestinya memberi contoh kepada masyarakat. dan jikalau ia menginginkan anaknya mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus, tentunya harus menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas. nah inilah yang menyebabkan negara kita sangat bobrok. tak ada ras kasih dalam jabatan mereka, mereka sangat egois. ….
Balas
12.
13 Loetfia Dwi Rahariyani Februari 3, 2009 pukul 9:26 am

Miskin itu ada 3, miskin ilmu, miskin harta, dan miskin Iman. Nah…..Yang paling berbahaya dan bikin rusak……MISKIN IMAN
Balas
13.
14 Rakyat jelata yang miskin Maret 23, 2009 pukul 11:23 pm

Aku MENYESAL telah lahir sebagai orang indonesia!
Aku MENYESAL punya orangtua dari indonesia!
Aku MENYESAL lahir dari keluarga indonesia yang MISKIN!
Seumur-umur aku miskin terus…kapan ya aku bisa kaya???
Aku MENYESAL udah lahir ke dunia ini!!!
Balas
*
15 nesa November 30, 2010 pukul 9:32 pm

matio
Balas
14.
16 mia nurmawanti Maret 30, 2009 pukul 2:13 pm

bagimana caranya mengatasi kemiskinan di nagara kita….apa ada yang tw
Balas
15.
17 Rp. Laksono Mei 29, 2009 pukul 11:39 pm

Ada banyak cara untuk mengatasi kemiskinan terutama di indonesia karena untuk merealisasikan keluar dari kemiskinan harus ada perubahan yang baik dari individunya sendiri, yaitu meliputi perubahan sikap, religi / spiritual, daya tarik, cara berfikir, profesi, ilmu pengetahuan / informasi, lingkungan, peran dalam sosialnya, logistik / kesehatan, bantuan & pertolongannya. Perubahan dengan mengurangi beberapa resiko : penyakit, kriminalitas, kejahatan, bahaya & berbagai potensinya.
Pernyataan diatas berdasarkan dari kenyataan dalam kehidupan masyarakat.
Semoga kemiskinan dapat segera teratasi dengan baik….Terimakasih.
Balas
16.
18 Peduli Indonesia September 20, 2009 pukul 11:04 pm

saya juga pelajar yang peduli juga ma perkembangan Indonesia. Mnyikapi mslh ini, sya sring bgt brtanya, kalo “orang-orang” aja tau gimana seharusnya menyikapi masalah pendidikan ini, ga mungkin kan para petinggi di pemerintahan itu ga tau. secara yang dipilih buat jadi para petinggi n pejabat negara itu absolut pasti orang yang mampu bekerja dibidang masing-masing. nah kalo sering kita ngomel “kan harus nya pemerintah gini, gitu, dll, dsb, dst”, apa kita ga pernah berpikir bahwa “para petinggi yang lebih kompeten aja belum “BISA” menyelesaikan masalah ini, apalagi saya yang cuma pelajar atau orang biasa?”.
Kadang masalah keliatan simpel banget, tapi saya belajar sesuatu, semakin kita tidak mengerti, semakin kita gampang menyelesaikan masalah. contoh kita ga gitu ngerti tentang mat, trus ada soal 1+1=?, pastinya kita jawab dgn gmpng bgt =2, tapi ketika ditanya sebabnya, kita ga bisa jelasin secara “benar”. Nah kalo anak TK aja bisa ngerjain itu, buat apa mahasiswa/i belajar itu lagi di kuliah?
intinya bahwa apa yang kita lihat atau anggap gampang, belum tentu segampang atau sesimpel yang kita kira, jadi kita juga harus menghargai para petinggi kita di sana. Tapi hal itu bukan berarti bahwa kita harus tutup mulut n bungkam sama sekali, kita bisa bantu pemerintah dengan memberi saran n masukkan, tapi bukand dengan demo yg brutal2an atau teror2 atau pelecehan gitu. ngakunya orang terpelajar, jadi kita juga harus tunjukkin bagaimana cara mengungkapkan pendapat dengan baik, bukan asal-asalan n kemakan emosi sendiri.
Trus kalo uda ‘introspeksi’ diri kita, baru ngeliat dengan jernih bener2 sistem n program2 pemerintah. Kalo emang acak-acakan n ga jelas alias ga bermutu, baru kita sampaikan saran opini kita dengan cara orang terpelajar. bis itu sebaiknya para petinggi juga ga sombong n nganggep rendah rakyatnya dengan berpikir “siapa lo? emang lo lebi pinter dari gw?”. pikiran itu bahaya banget, karena bisa mmbutakan kita akan kesalahan2 kita. jadi dua2 nya harus saling introspeksi diri n tolong satu sama lain dengan cara terpelajar. kan ga mungkin kita bisa ngeluarin selumbar dari mata orang lain, padahal di mata kita sendiri ada balok yang menutup pandangan kita..??
http://opini.wordpress.com/2006/11/08/membangun-pendidikan-mengatasi-kemiskinan/

Taman Penitipan Anak

Pengembangan TPA untuk Mengisi Kesenjangan Pengasuhan Anak Balita

Taman Penitipan Anak merupakan bentuk layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Non-Formal yang keberadaannya terus berkembang jumlahnya. Pada awalnya Taman Penitipan Anak telah dikembangkan oleh Departemen Sosial sejak tahun 1963 sebagai upaya untuk mengisi kesenjangan akan pengasuhan, pembinaan, bimbingan, sosial anak balita selama ditinggal orang tuanya bekerja atau melaksanakan tugas.

Sejak dibentuknya Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (Dit PADU) tahun 2000, maka pembinaan untuk pendidikan menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan Direktorat PAUD untuk seluruh bentuk layanan PAUD termasuk TPA adalah memberikan layanan yang holistik dan integratif. Holistik berarti seluruh kebutuhan anak (kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan, berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidup) dilayani dalam lembaga penyelenggara TPA. Integratif berarti semua lembaga TPA melakukan koordinasi dengan instansi-instansi Pembina.

Pengertian Taman Penitipan Anak (TPA)
Taman Penitipan Anak (TPA) merupakan salah satu bentuk PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus pengasuh dan kesejahteraan sosial tehadap anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun.

Taman Kanak-Kanak (TK)

Taman Kanak-Kanak (TK) termasuk dalam jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yakni usia 6 tahun atau di bawahnya yang dikemas dalam bentuk pendidikan formal. Program pembelajaran TK lebih ditekankan kepada pemberian rangsangan pendidikan guna membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Masa belajar seorang murid di TIK tergantung pada tingkat kecerdasannya yang dinilai dari rapor per semesternya. Untuk lulus dari tingkat program di TK selama dua (2) tahun, yakni :
. TK Nol Kecil selama 1 tahun
. TK Nol Besar selama 1 tahun

Usia rata-rata minimal anak untuk dapat memulai pendidikan di TK berkisar 4-5 tahun, sedangkan usia rata-rata untuk lulus dari TK berkisar 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, murid akan melanjutkan program pendidikan ke tingkat Sekolah Dasar atau yang biasa disingkat SD.

Pembelajaran di TK

Anak-anak diberi kesempatan belajar sesuai dengan usia tiap tingkatannya, antara lain :
. Bernyanyi
. Membaca
. Berhitung
. Budi bahasa
. Agama
. Dan berbagai macam keterampilan lainnya.

Tujuan dari pembelajaran tersebut diatas adalah untuk menciptakan daya cipta kanak-kanak serta memacunya untuk belajar mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang dirancang sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan daya pikir dan peranan anak kecil, yang dikemas dalam bentuk belajar sambil bermain.

Sekolah menengah atas

Sekolah menengah atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah menengah atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.

Pada tahun kedua (yakni kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan SMA dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.

Pelajar SMA umumnya berusia 16-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni SD (atau sederajat) 6 tahun dan SMP (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.[1]

SMA diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan SMA negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, SMA negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.